
‘Paranoia’ mengingatkan gue dengan ‘Pesantren Impian’ di 2016 silam, bukan dari ceritanya, itu jelas berbeda, tapi semata mata karena genre dan ekspektasi gue pada saat itu. Ada nama Ifa Isfansyah disana, wajar jika pada akhirnya gue berharap lebih dari film tersebut, karena Ifa bukan sembarang sutradara. Tapi hope hanyalah hope belaka, filmnya emang nga sepenuhnya disaster, tetap saja gue kecewa sekali, lebih kecewa ketimbang proyek Ifa sebelumnya ‘Pendekar Tongkat Emas’ yang sama-sama… (ah sudahlah).
Now, kasusnya terulang tapi dengan “tersangka” yang berbeda, ada nama seorang Riri Riza terpampang yang bikin gue kembali berekspektasi lebih. Hey! ini Riri Riza meeeen, bukan filmnya Arie Azis atau Findo Purwono, wajar klo gue kemudian masang harapan di atas rata-rata kalau ‘Paranoia’ mampu (setidaknya) bikin wajah gue berseri-seri pas keluar dari bioskop, gue pengen film Indonesia punya thriller yang keren, that’s all men, simple saja.
Bercerita tentang seorang istri yang kabur dari kebrutalan suaminya, ‘Paranoia’ tak memiliki masalah pada departemen akting, Nirina Zubir, Nicholas Saputra, Caitlin North Lewis dan khususnya Lukman Sardi yang diharuskan jadi seorang saiko disini, adalah individu-individu yang tak diragukan apabila bicara soal skill berlakon alias berakting. Sesuai porsinya, mereka aman. Namun, saat disatukan dalam satu frame, satu adegan, saling beradu dialog dan peran, barulah gue tersadar lho kok ada yang janggal, hingga terkadang menjurus jadi menggelikan.
Sejak awal, karakter-karakter di ‘Paranoia’ tampak lemah dalam usahanya membuat gue yakin mereka dalam kondisi terancam atau ketakutan, gue menunjuk karakter yang dimainkan Nirina dan Caitlin. Imbasnya tentu saja berefek langsung pada intensitas ketegangan yang ingin dicapai, kok rasanya malah hambar. Oh, Lukman memang bisa jadi orang yang main asal pukul, tapi kok rasanya (banyak amat kok rasanya) karakter saiko Lukman pun punya andil membuat momen deg-degan berubah jadi lawakan. Lalu gimana dengan karakter-karakter yang dimainkan oleh Niko dan Caitlin? Entahlah, eksistensi mereka dibuat seperti hanya sebagai “pemanis”, ada atau engga ada pun dampaknya tidaklah signifikan. Maybe akan lebih seru jika Nirina vs. Lukman baku hamtam sepanjang satu setengah jam.
Selemah tokoh-tokohnya, penceritaan pun kelihatan kurang digodok matang, semakin durasinya menipis, daya tarik film pun kian terkikis, hingga habis alias nol besar ditutup oleh endingnya yang membuat seisi bioskop seketika hening sewaktu gue nonton. Well, engga tahu penonton lain, gue sih terdiam bukan sekedar terkejut, meyakinkan sekali lagi kalau gue sedang menonton film Riri Riza (iya kan?), tapi juga sekaligus sedang menahan ketawa sebenarnya. Hanya gue memutuskan buat kagak cekikikan, karena ‘Paranoia’ film yang seharusnya serius jadi ketawa pun tak ikhlas gue tuh, jadi biarlah tawa itu terpendam dalam hati, enoughlah.
‘Paranoia’ mungkin baik-baik saja sebagai sebuah tontonan drama yang melibatkan kekerasan rumah tangga sebagai pemantik konfliknya, namun maaf sekali untuk urusan thriller bisa dibilang gagal. Gue ingin ikut merasa keringetan, ketakutan ataupun bisa berdebar, tapi film ini sama sekali enggan memberikan itu semua. Padahal membeli tiket yang walau hanya 25 ribu (sudah diskon pula 50%) gue berharap jantung ini bisa dihibur, tapi ternyata ekspektasi gue serasa dikubur. ‘Bisikan Jenazah’ yang sudah turun layar itu malah lebih berkesan buat gue, ketimbang ‘Paranoia’ yang begitu keluar studio trus kencing sebentar mudah untuk dilupakan, pulang ke rumah pun cuma bawa “oleh-oleh” kekesalan.