
‘Rumah Kuntilanak’ mungkin seharusnya tak perlu direkam pakai kamera resolusi tinggi, karena meski gambar yang dihasilkan jernih, tapi tak sebanding dengan amat rendahnya niat menyajikan tontonan yang karcisnya itu layak untuk dibeli, bukannya justru menyesal mengeluarkan duit seharga dua liter minyak goreng. Dengan bahasa visual yang enggak berfungsi sama sekali dalam menyampaikan cerita, alanglah bijak jikalau syuting ‘Rumah Kuntilanak’ menggunakan kamera VGA 0.3 megapixel dari handphone era 2000-an aja. Toh bisa menghemat bujet dan menghindar dari yang namanya mubazir, lagian percuma bungkusnya yang cantik pun pada akhirnya tak mempengaruhi keseluruhan kualitasnya yang membuat kepala bagian belakang jadi sakit mirip pertanda kolesterol sedang naik. ‘Rumah Kuntilanak’ semestinya memberikan peringatan sebelumnya, setidaknya supaya gue bisa berjaga-jaga dengan bawa pereda nyeri untuk diminum tiap lima menit sekali.
“Jangan menilai buku hanya dari sampulnya saja”, karena meski judul beserta premisnya terkesan sederhana, film horor berdurasi 80 menit ini ternyata menawarkan pengalaman sinematik yang dipenuhi kerumitan, tak saja dari caranya menghantarkan ceritanya, tapi juga ketika kita nantinya ditarik untuk masuk ke labirin misterinya yang membingungkan. ‘Rumah Kuntilanak’ memulai kisahnya lewat adegan seorang perempuan yang berjalan di tengah hutan, tak lama kemudian muncul pria bertopi anyaman bambu mirip karakter The Three Storms dari ‘Big Trouble in Little China’. Seketika perempuan tadi langsung memasang wajah sangat terkejut layaknya orang-orang di FTV hidayah pada saat mau ditabrak motor atau mobil yang lewat. Otak normal gue membayangkan bakalan terjadi sesuatu yang mengerikan, apalagi biasanya film horor lokal tuh gemar start duluan soal penampakan. Siapa yang menyangka kalau di adegan berikutnya si perempuan sudah duduk santuy membonceng sepedanya pria tadi yang ternyata semacam tukang ojek.
Lazimnya plot twist itu adanya di ujung film, tetapi ‘Rumah Kuntilanak’ seperti ingin beda sendiri dan mendobrak segala kenormalan, termasuk menjejalkan kejutan mindblowing padahal durasinya belum sampai 10 menit. Adegan ojek sepeda pun baru pemanasan, karena begitu karakter utama perempuan yang mengenalkan dirinya bernama Melani ini tiba di sebuah rumah besar, bersiaplah untuk dibuat lebih tercengang. Sambil ikut diajak berputar-putar mencari sang suami yang katanya sudah tidak pulang selama 2 bulan, kejanggalan demi kejanggalan juga akan turut menumpang, makin menambah beban pikiran yang sudah dibuat overload sejak awal oleh logika berceritanya ‘Rumah Kuntilanak’ yang seenak udel genderuwo (eh genderuwo emang punya udel?). Mulai dari Melani yang hanya berteriak “suamiku, suamiku” di lokasi yang sama setiap hari, hingga tempatnya menginap yang seperti kamar buat mengurung perempuan korban perdagangan manusia, alasnya papan pula.
Keganjilan yang paling menonjol tentu saja karakter-karakternya yang bergerak serta berbicara enggak kayak manusia yang gue kenal selama ini. Salah satunya diberi nama Amel yang tiap kali muncul selalu dibarengi dengan tritmen dan skoring mengagetkan layaknya karakter ini ditumbalkan untuk jadi pengganti jump scare, karena penampakan setan di ‘Rumah Kuntilanak’ memang tidak difungsikan untuk memberikan efek kejut apalagi takut, melainkan hanya tambahan keanehan yang membuat kita kian bingung sekaligus linglung. Amel serta karakter lain, Nyonya Loan dan Ibu Lim, nantinya tampak seperti karakter yang nyasar dari sinetron ‘Tutur Tinular’ atau ‘Misteri Gunung Berapi’ dengan cara ngomong yang semangat dan sambil melotot kayak orang sehabis nyabu. Jadinya bakalan terdengar nyambung saat mereka semua diberikan dialog-dialog kaku ala sinema 80-an, termasuk juga kosakata epik seperti sampah kotor, budak seks dan pelacur jahanam. Auto ketawa dengarnya!
Segala keabsurdannya yang saling tumpang tindih membuat nonton ‘Rumah Kuntilanak’ bagaikan memasuki alam gaib yang penuh adegan-adegan yang tak masuk di akal dan menjungkirbalikkan logika manusia. Muara dari beragam keanehan yang disumpalkan sejak munculnya ojek sepeda di awal durasi berujung dengan plot twist terwatdefak dan paling mindfak di jagad sinema horor lokal. Dari Melani yang ternyata sudah meninggal bunuh diri dan terjebak di purgatory, hingga karakter lain yang selama ini berseliweran adalah memang penghuninya alias makhluk halus, termasuk sang suami yang terbunuh oleh Nyonya Loan karena selingkuh, dan Ibu Lim yang juga sudah lama tewas kesandung terus kepentok batu sewaktu tidak sengaja memergoki majikannya membunuh. Meski semua pertanyaan tidak terjawab, gue lebih baik memilih mengikhlaskan ketimbang jadi gila, setidaknya ‘Rumah Kuntilanak’ berhasil menyuguhkan tontonan horor yang seratus persen komedi, bisa bikin gue tertawa tapi secara bersamaan menyiksa lahir dan batin.