
Sebagai orang yang memuja ‘The Exorcism of Emily Rose’, mendengar Scott Derrickson kembali ke “fitrahnya” membesut film horor, otomatis membuat gue seperti orang yang mengalami momen demonik, percampuran antara terlalu girang dan kerasukan keenam iblis yang gagal diusir Pastur Richard Moore. Oke sebelum gue semakin ngawur, ‘Telepon Hitam’ nantinya akan mengajak kita kembali ke akhir tahun 70-an, lalu menginjakkan kaki di pinggiran kota Colorado yang tampaknya damai dan tenang dari luar namun ternyata problematik di dalam. Apalagi sejak adanya “The Grabber” pelaku pembunuhan berantai dengan korban anak-anak, termasuk Finney (Mason Thames) yang jadi “mangsa” paling baru dari serial killer dengan ciri khas balon hitam ini. Ketika polisi terlihat putus asa dan investigasi para detektif pun menemui jalan buntu, Gwen (Madeleine McGraw), adiknya Finney yang punya bakat istimewa seperti ditakdirkan untuk selamatkan sang kakak.
Jika ‘Telepon Hitam’ nantinya bakalan bikin kita ingat dengan kelakuan Pennywise, well itu bukan sebuah kebetulan, karena source ceritanya berasal dari karangannya Joe Hill yang mana adalah anak dari pencipta badut mengerikan tersebut, Stephen King. Namun ‘Telepon Hitam’ bukanlah carbon copy atau ngejiplak mentah-mentah ‘IT’, formula yang kurang lebih sama nantinya dioplos dengan tritmen berbeda, dari ranah fantasi menjadi tontonan thriller yang realistis. Meski dibalut dunia supranatural, Derrickson dan partner penulis skrip langganannya, Robert Cargill, mampu meracik sekaligus mengemas tetek bengek cenayang dan hantu-hantuan yang nantinya berseliweran untuk terlihat masuk akal. Keduanya mengerjakan “PR” mereka dengan benar, karena sejak awal narasinya bergerak dengan elemen penceritaan yang dipenuhi daya khayal tetapi logikanya dapat dipertanggung jawabkan alias nga ngasal.
Gue yang terkesima dengan ‘Telepon Hitam’ kemudian kesulitan untuk menemukan letak jeleknya atau titik lemahnya, alur lambannya pun sebenarnya bukanlah kekurangan, tapi bisa dibilang cara yang manusiawi sekaligus keputusan paling tepat mempresentasikan film yang dibintangi juga oleh Ethan Hawke sebagai si pembunuh bertopeng ini. Dengan begitu, penonton diberikan waktu untuk tak saja mengunyah segala misteri dan teka teki yang disuapkan oleh Derrickson sampai “33 kali”, termasuk soal keganjilan telepon serta keberadaan Finney, tapi juga dibiarkan dulu buat “mencerna” perlahan kerangka cerita yang sedang dibangun sabar, beserta satu persatu karakternya, khususnya introduksi ke tiga tokoh sentral, si Grabber, Finney dan Gwen yang mulutnya sering bikin onar. Saat ‘Telepon Hitam’ kemudian berhasil bikin kita peduli, baik oleh penceritaan & penokohan, barulah Derrickson memulai aksi berikutnya, melepas kengerian sekaligus meningkatkan intensitas tegang hingga ke babak klimaks.
Apa yang membuat ‘Telepon Hitam’ sangat menonjol dari film-film supranatural sejenis adalah berkat kemampuan bernarasi Scott Derrickson yang apik menggiring penonton untuk ikut terlibat menemukan Finney, dari menyusun puzzle berbekal petunjuk Gwen, sampai secara emosional menyoraki setiap aksi survival kakaknya. Eksplorasi karakter yang mantap di paruh pertama pun punya peranan krusial dalam mengikat chemistry yang kuat, nga hanya antara sahabat serta saudara kandung, tapi juga ikatan batin tak terlihat yang membuat kita bersimpati dan peduli setengah mati dengan nasib Finney. Terakhir, esekusi Derrickson dalam meramu thriller-nya dan mengisinya dengan adegan adegan efektif yang menghasilkan beragam reaksi sekaligus aneka sensasi, dari senang hingga tercengang. Semua elemen: cerita, karakter, visual, scoring, dan penampakan begitu kompak menciptakan tontonan horor yang memuaskan, bangsat Derrickson!
Pingback: 22 Film Terbaik di Tahun 2022
Pingback: 10 Film Horor Terbaik di 2022