Hidayah (2023)

Pada saat kebanyakan horor lokal jualannya penampakan, ‘Hidayah’ sebetulnya memiliki potensi untuk menghadirkan konsep seram serta ngeri tanpa sama sekali memunculkan hantu. Namun, alih-alih manfaatkan kondisi tubuh Ratna yang membusuk sebagai “alat” menakut-nakuti penonton, lalu mengemas terornya dalam bentuk sajian “body horror”, Monty malahan sibuk mengumpulkan aneka jumpscare tidak berguna, termasuk pocong yang dipaksa supaya melakukan aksi jungkir balik layaknya pertunjukan sirkus akrobatik. Padahal kalau mau, ‘Hidayah’ bisa saja jadi tontonan film horor yang berbeda dan fresh di tengah kepungan kuntilanak, genderuwo, siluman ular, serta istri penguasa kegelapan yang sudah duluan “menggentayangi” layar bioskop. Sayangnya, ‘Hidayah’ tidak berani mengambil kesempatan emas tersebut, 90 menit durasinya nanti enggak hanya ngikut “cetakan” film horor mesti ada penampakan, tetapi juga seperti melenceng dari sumber adaptasinya, karena sinetron ‘Hidayah’ dulu seingat gue lebih fokus pada asal usul azab.

(more…)

Tumbal Kanjeng Iblis (2022)

Setelah Tarian Lengger Maut dengan cerita psikopatnya yang kacrut, lalu dilanjut Jagat Arwah yang keseluruhan esekusinya payah. Tekad Visinema untuk menghadirkan horor yang berbeda ternyata belumlah meredup, karena di penghujung tahun ini ada Tumbal Kanjeng Iblis yang jadi pertaruhan. Apakah rumah produksi penghasil Mencuri Raden Saleh ini (pada akhirnya) mampu menebus dosa? atau malah konsisten bikin film horor gagal untuk yang ketiga kalinya. Selain judul dengan penggunaan kata tumbal dan iblis, supaya lebih menarik minat calon penonton untuk membeli tiket, film yang disutradarai oleh Mizam Fadilah ini juga mengajak para cast yang aktingnya sudah terbukti canggih seperti Sheryl Sheinafia dan Putri Ayudya. Sayangnya, talenta mereka, termasuk juga Teuku Rifnu Wikana yang biasanya berlakon solid meski waktu munculnya sedikit, akan tampak sia-sia karena tertutupi bayangan penceritaan yang berbelit-belit semrawut.

(more…)

Makmum 2 (2021)

Di balik penampakan setan berulang lusinan kali yang sebenarnya memuakkan, ternyata ‘Makmum 2’ menyembunyikan pesan positif untuk jangan merusak hutan, mengingatkan gue dengan band eco-metal asal Perancis bernama GOJIRA, yang selalu menyusupkan tema lingkungan hidup dalam tiap lantunan kecadasannya. Gue mengapresiasi langkah tersebut, karena jarang sekali film Indonesia apalagi horor yang durasinya habis oleh aksi jumpscare, mau repot-repot memasukkan kepedulian terhadap lingkungan ke dalam skripnya. Well, setidaknya ada sisi baik yang bisa gue ingat selama duduk di bangku E8, selain berdoa mengharap ‘Makmum 2’ mau mengakhiri penceritaannya yang menyiksa. Meski sedikit lebih baik dari predesesornya yang mengenaskan, sekuel ini tetaplah eco horror yang gagal melaksanakan misinya untuk memberikan ketakutan, mengulang kesalahan serupa yang sudah ribuan kali dilakukan oleh kebanyakan film horor lokal.

(more…)

Yuni (2021)

Beberapa waktu lalu gue menonton film asal India, judulnya “Skater Girl”, tentang pemberontakan seorang gadis kampung demi kebebasan dan impiannya bersama papan seluncur tak hancur oleh kekangan rantai tradisi, yang nempatin perempuan hanya akan berakhir di dapur, sumur dan juga kasur. Sekali lagi sinema dijadikan medium untuk meneriakkan perlawanan, mewakili suara mereka yang “terlakban”. “Yuni” pun adalah karya gambar bergerak atas nama perlawanan, mengisahkan cewek penggemar warna ungu yang ingin melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi, tapi terhempas oleh kenyataan dan tersungkur kembali ke daratan. Lewat film ini Kamila Andini seperti ingin menegaskan sulitnya hidup sebagai perempuan, sambil mengingatkan kita yang tidak mengalami, khususnya kaum lelaki, untuk lebih peduli.

(more…)

Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash (2021)

Sinema Indonesia butuh lebih banyak film berisi karakter perempuan yang nuntaskan dendam dengan meriah sekaligus berdarah layaknya karakter Iteung dan Marlina. Meski hanya berupa tontonan berdurasi sekian jam, tapi ada pelampiasan kemurkaan yang terwakilkan oleh parang ataupun pulpen mereka. Layaknya ‘Marlina’ buatan Mouly Surya, ‘Seperti Dendam’ ini seperti menuangkan kemarahan gue yang sudah mendidih dalam kepala ke wadah bernama cinema. Kemarahan yang berkerak dari rasa tak berdaya ketika melihat atau membaca berita soal pemerkosaan dan kekerasan seksual. Film ‘Seperti Dendam’ dengan tepat mengekspresikan apa yang sudah lama ingin gue lakukan kepada para pelakunya. Menggantung mereka di tiang sangkar burung atau sekedar menjepitkan anunya ke pintu lemari hingga terpisahkan dari kantung berkulit yang berisikan dua biji.

(more…)