Teluh Darah (2023)

Untuk serial berjudul ‘Teluh Darah’, tiap episodnya tahu bagaimana menjadikan “persantetan” sebagai pertunjukan utama

Ketika film-film horor lokal yang sudah atau sedang rilis di bioskop tahun ini kualitasnya (kebanyakan) bisa dibilang memprihatinkan, hadirnya ‘Teluh Darah’ menjadi laksana oase yang lunturkan segala dahaga akan adanya tontonan horor yang dapat mengembalikan senyum di wajah gue yang dipenuhi dengan residu kekecewaan ini. Meski tak sempurna, ‘Teluh Darah’ setidaknya paham bagaimana membuat horor yang tidak saja menghibur rasa takut dan penasaran penonton, tetapi juga mengerti bahwa yang namanya cerita itu penting, apalagi dalam serial yang tiap episod membutuhkan penceritaan menarik supaya penontonnya tidak gampang kabur. ‘Teluh Darah’ adalah anomali, ibarat tukang donat kampung keliling yang sekarang udah langka di kota. Tentu saja kemunculan serial produksi Rapi Films ini gue sambut dengan riang gembira, karena (akhirnya) ada yang mau bikin serial yang bukan tentang drama perselingkuhan, melainkan nyeret kita untuk melihat betapa ngeri dan jahat persantetan.

(more…)

Sewu Dino (2023)

‘Sewu Dino’ tetap mampu memberikan gue beberapa adegan yang menarik, terutama bagian misteri, tapi sejujurnya, mostly meleset dari ekspektasi.

Jadi ingat katanya Koh Afuk, “kalo berharap banyak, harus siap kecewa banyak”, datang ke bioskop ekspektasi gue buat ‘Sewu Dino’ emang sudah terlanjur gede, didorong oleh bayangan waktu dulu baca thread-nya: topik teluh, atmosperik, terus mengarah ke body horror, cocok dengan selera dan lebih suka ketimbang cerita ‘KKN di Desa Penari’. Jadi, saat tahu akan difilmkan, gue tentu sambut dengan gembira, akhirnya dapat merasakan gimana ditakut-takutin oleh keranda bau di layar lebar. Walaupun dalam hati ada sedikit keraguan, apakah Kimo Stamboel sanggup mengadaptasi kengerian “santet 1000 hari” yang hanya bermodal nanah serta atmosfer rumah antah berantah? Karena ‘Sewu Dino’ menurut gue tak bisa diperlakukan seperti horor-horor Indonesia pada umumnya, yang bergantung dengan penampakan makhluk halus. Kayak ritual memandikan Dela, jikalau salah mengesekusi, maka ‘Sewu Dino’ bakal celaka, cukup film KKN itu saja yang hancur.

(more…)

Marui Video (2023)

‘Marui Video’ dibuka dengan cuplikan kasus pembunuhan brutal yang terjadi di sebuah losmen pada tahun 90-an, dimana seorang lelaki yang tiba-tiba berprilaku aneh, seperti orang lagi kerasukan, kemudian menghabisi nyawa teman perempuannya. Namun yang membuat video tersebut berstatus “legend” bukan hanya karena kekejian si pelaku, tapi justru kehadiran penampakan diduga hantu anak laki-laki berseragam sekolah. Singkat cerita, demi mengungkap siapa sosok yang muncul di ujung video, dibentuklah sebuah tim dokumenter yang bertugas menyelidiki sekaligus menelusuri jejak misteri berdarah si hantu bocah bertopi sekolah. Bahannya boleh dikatakan lengkap, jika diracik tepat, ‘Marui Video’ sebetulnya punya potensi jadi film horor found footage yang mengerikan seperti juga ‘Noroi’ dan ‘Keramat’. Sayang, kompleksitas presentasi ceritanya malahan membuat mokumenter asal Korea Selatan ini terasa cukup melelahkan untuk diikuti.

(more…)

Kembang Api (2023)

Dengan judul dan premis yang mengundang penasaran, dimana diceritakan ada empat orang yang berniat bunuh diri tapi berujung “dikerjain” mengulang kejadian yang sama. ‘Kembang Api’ yang merupakan remake film asal Jepang ini, sejak awal terlihat percaya diri sekaligus paham bagaimana semestinya memperlakukan materi “orang lain” supaya tak terkesan hanya “copy paste“, dan tetap relevan sekaligus menarik bagi penonton di Indonesia. Diarahkan oleh Herwin Novianto, sutradara spesialis film-film drama “hangat” kayak ‘Tanah Surga… Katanya’, lalu ‘Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara’, dan juga ‘Sejuta Sayang Untuknya’, ‘Kembang Api’ menurut gue sudah memilih orang yang tepat untuk menterjemahkan naskah hasil karangannya Alim Sudio. Herwin nantinya tidak sekedar mampu memaksimalkan pengadegan yang ditujukan supaya penonton ikut emosional, tetapi juga bisa ciptakan kedekatan antara kita dan karakter, seperti sudah lama kenal.

(more…)

Missing (2023)

Sebagai orang yang mengaku menggemari subtema horor found footage dalam bentuk apapun, termasuk yang skema berceritanya manfaatkan layar komputer. Gue tentu saja berharap ‘Missing’ bakalan bikin kepala dan adrenalin gue pontang panting, mirip sama yang pernah dilakukan ‘Searching’ 5 tahun lalu. Meskipun enggak lagi disutradarai oleh Aneesh Chaganty yang kali ini menulis story serta merangkap produser, tapi Will Merrick dan Nick Johnson yang dipercayakan untuk mengarahkan sudah melakukan pekerjaan dengan sangat baik. Mengadopsi apa yang telah dipraktekkan ‘The Den’ sebagai pionir film bergaya screenlife thriller di tahun 2013 (koreksi apabila gue salah). ‘Searching’ bisa dikatakan tak hanya memperlihatkan bahwa genre found footage masih dapat dieksplor untuk jadi tontonan yang jauh lebih inovatif dan imajinatif (bagi siapapun yang niat mau mengulik), tapi juga memastikan subgenre ini tidak akan lagi dipandang sebelah mata, jalan pintas untuk buat film murah katanya.

(more…)